Kedudukan dan Peranan Saput Poleng bagi Masyarakat Hindu Bali


Pemakaian warna-warna di dalam Agama Hindu memiliki makna yang penting dan dimanfaatkan untuk umat Hindu di Bali. Secara umum ada sembilan warna (Dewata Nawasanga) yang memiliki simbol, kedudukan, dan peranan bagi umat Hindu Bali. Salah satu hasil simbol perpaduan warna yang sering digunakan, tercermin dari perwujudan saput poleng (kain yang terdiri warna hitam dan putih). Saput poleng adalah perpaduan dua warna ataupun tiga warna yang memiliki kedudukan penting sebagai simbol dan sarana memusatkan pikiran dalam melaksanakan kegiatan pemujaan agama. Kedudukan saput poleng sangat penting dalam kegiatan upacara umat Hindu Bali.

Pemakaian simbol saput poleng hanya digunakan oleh orang tertentu dan pada tempat tertentu pula. Tertentu dalam hal ini memiliki tugas yang khusus dan kelebihan yang spesial. Berdasarkan penggunaan saput poleng hanya dapat digunakan oleh pecalangbalian desa, arca di perempatan agung, arca-arca dwarapala, dililitkan pada pohon, pada kulkul, dan arca-arca penjagaan. Belum ada catatan tertulis terkait sejarah munculnya saput poleng. Jenis saput poleng terdiri dari berbagai macam, di antaranya saput poleng rwabhineda (terdiri dari dua warna yaitu putih dan hitam), saput poleng sudhamala (terdiri dari tiga warna yaitu putih, hitam, dan abu-abu), saput poleng tridatu (terdiri dari tiga warna yaitu putih, hitam, dan merah), dan saput poleng anyar (bersifat pelengkap dan profan). 

Saput poleng juga memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat Hindu Bali, khusus di artikel ini akan dibahas peranan saput poleng bagi pecalang dan pada Pelinggih . Peranan saput poleng yang digunakan oleh pecalang (satuan tugas keamanan tradisional masyarakat Hindu Bali yang memiliki wewenang dalam menjaga keamanan dan ketertiban wilayah), memiliki peranan sangat penting. Penggunaan saput poleng yang menjadi ciri khas pecalang mengandung makna bahwa seorang pecalang harus selalu memperhatikan keadaan sekitar, dengan tujuan dapat mengendalikan keamanan sesuai tugas yang telah dibebankan kepadanya. Pecalang seharusnya mampu nyelem putihang gumi, yang berarti mampu menjaga dan mengarahkan masyarakat dari kekacauan menuju kedamaian. Pemakaian saput poleng oleh pecalang yang umum dikenakan adalah saput poleng sudhamala dengan hiasan tepi di bagian bawah, ataupun saput poleng tridatu dengan hiasan tepi di bagian bawah. 

Selanjutnya, peranan penting saput poleng pada Pelinggih (bangunan suci sebagai tempat pemujaan Tuhan atau manifestasinya oleh umat Hindu Bali). Pelinggih yang dihias dengan saput poleng adalah Pelinggih Ngerurah (bangunan suci di Merajan atau hulu pekarangan rumah), Pelinggih Tunggun Karang (bangunan suci yang berfungsi sebagai penjaga pekarangan rumah), Pelinggih Ulun Pangkung (bangunan suci di ujung jurang), Pelinggih Pesedahan (bangunan suci di Pura), Pelinggih di persimpangan jalan, dan Pelinggih lainnya. Pemakaian saput poleng pada Pelinggih Tunggun Karang sebagai ciri dari kekuatan Tuhan yang dipuja dan sebagai penjaga. Penggunaan saput poleng pada Pelinggih-Pelinggih tertentu, ini diartikan bangunan suci tersebut memiliki tugas yang khusus atau spesial. 

Sekian informasi singkat terkait kedudukan dan peranan saput poleng bagi masyarakat Hindu Bali, semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan yang lebih luas. Dengan mengetahui kedudukan dan peranan saput poleng, kita secara tidak langsung menjaga warisan budaya leluhur. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fungsi dan Makna Simbol Swastika bagi Masyarakat Hindu

Memahami Istilah "Masyarakat Terasing" di Indonesia